Senin, 25 Mei 2009

Sebuah Enigma

TIBA-TIBA semuanya terasa tanpa nuansa. Hambar. Bahkan lagu Ebiet G Ade yang mengalun dari handphone sesama calon penumpang pesawat yang didelay itu terasa tak memiliki kekuatan lagi. Padahal, lagu lama Camelia I hingga Camelia III yang selama ini bisa menjadi suluh semangatku, hari ini terdenganr landai. Ah....


Aku tidak tahu pasti. Mengapa tiba-tiba Widya menyatakan keinginannya untuk kembali ke Norwegia. Padahal bea siswanya sudah selesai dan pendidikan doktornya juga sudah diraihnya. "Aku hanya ingin mengembangkan apa yang aku bisa lakukan," katanya perlahan.

Aku tidak langsung mengomentari keinginannya itu. Karena aku tahu pasti, apapun jawabanku, hasilnya adalah sama saja. Berarti kita harus berpisah. Berarti aku harus kehilangan dia. Kehilangan wanita yang selama lebih dari tujuh tahun menjadi bagian dari kehidupanku. Widya adalah wanita yang bisa membangkitkan geloraku di saat aku kehilangan semangat.

Aku begitu sibuk dengan alam pikiranku, ketakutanku akan kehilangan wanita yang sangat aku sayangi. Tapi aku tidak mungkin menyatakan isi hatiku dengan vulgar. Jika kehilangan itu akan menjadi bagian dari hidupku, cukup hanya aku saja yang mengetahuinya. Widya sekalipun tidak boleh tahu.

"Tiket dan jadwal penerbangan sudah aku terima," katanya datar.

Informasi itu memang sangat datar. Tapi itu bagai geledek. Perpisahan itu sudah di depan mata. Mau tidak mau, aku harus menyetujuinya.

Kepedihan terasa semakin menyesakkan dada. Apakah aku harus menjelaskan rasa kehilangan di hatiku ini kepada Widya? Atau cukup derita ini aku tanggung sendiri? Pergulatan batin semakin dalam, antara berterus terang atau menyembunyikannya.

Akhirnya, aku putuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. Kehancuran hatiku akan semakin terlihat dengan kepergiannya. Namun belum sempat bibirku mengatakan yang sebenarnya, terdengar pemberitahuan keberangkatan pesawat. Penumpang jurusan Surabaya harus segera naik ke pesawat.

Kalimat-kalimat panjang yang sudah aku susun sedemikian runtut, hilang bersamaan dengan persiapan kita naik ke pesawat. Aku hanya ingin menunjukkan rasa memiliki dirinya dengan menggenggam erat jemari tangannya. Namun aku takut.

Akhirnya, aku rengkuh perlahan bahu kirinya, saat posisi berdiri kita sudah berjejer. Sedang tangan kananku tetap menarik tas jinjing beroda isi pakaiannya. Widya membiarkan tanganku merengkuhnya. Ia seperti mengetahui isi hati dan perasaanku. Ia tidak ingin membuatku kecewa. "Kau tahu, aku mencintaimu, Wid," hanya itu yang bisa aku katakan.

Tidak ada jawaban dari kalimat yang aku ucapkan. Aku juga tidak butuh jawaban. Karena sebenarnya kita sama-sama tahu. Cinta itu ada dan tumbuh sejak tujuh tahun lalu. Hingga saat ini bunga cinta itu tidak pernah layu. Ia akan tetap bersemi di dalam relung hatiku yang paling dalam.

Masih terbayang dalam ingatanku. Saat itu, tujuh tahun lalu. Aku dan Widya sama-sama sedang mengikuti seminar tentang Penjelajahan Artefak Indonesia di Yogyakarta. Waktu itu, posisi duduk kita berdekatan. Awalnya hanya say hallo, saling tukar informasi soal artefak yang sama-sama belum kita fahami.

Diskusi antara aku dan Widya mulai terasa lebih dekat saat break makan siang. Ternyata kita sama-sama tidak memiliki kenalan dalam seminar ini. Akhirnya, kita memutuskan untuk berdiskusi berdua sambil makan. Diskusi ini berlanjut saat kudapan sore.

Namun topik diskusi saat kudapan sore sudah mulai di luar jalur artefak. Kita mulai hal-hal yang biasa, mulai dari asal kita masing-masing sampai di mana kita tinggal di Yogyakarta selama tiga hari pelaksanaan seminar. Ternyata, kita satu hotel. Tentu beda kamar.

Setelah itu, semuanya berjalan dengan lancar, hubungan kami seperti bisa mengalir dengan derasnya. Apalagi kita langsung mendapat beasiswa selama dua tahun pendidikan khusus arkeologi di Yogyakarta. Keakraban kami semakin terjalin. Itulah awal hubungan kita. Awal kebersamaan dan cinta kita.

Lamunanku langsung buyar ketika aku, Widya dan semua penumpang memasuki kabin pesawat. Aku langsung sibuk dengan tas dan bawaanku. Hingga aku dapatkan seat dan meletakkan semua tas di tempatnya.

Ternyata selama hampir satu jam perjalanan dari Jakarta ke Surabaya itu tidak bisa mencairkan hubungan komunikasi kita. Widya memilih diam dan pura-pura tidur selama penerbangan. Sedang aku, terhanyut dalam lamunanku sendiri. Ketidaksiapan diriku saat akan dan selama ditinggalkan Widya, menjadi beban berat dalam pikiranku.

Lamunanku buyar saat pramugari menginformasikan bahwa pesawat akan segera mendarat di Bandara Juanda, Surabaya. Widya juga membuka kelopak matanya. Kelopak mata indah yang selama tujuh tahun terakhir bisa aku nikmati setiap waktu.

Ia tersenyum. "Sudah mau turun," katanya. Aku hanya mengangguk setuju. Aku kembali terhanyut saat melihat senyumnya. Ah, apakah senyum itu masih akan bisa aku nikmati lagi? Apakah aku masih bisa melumat lembut bibir mungilnya? Dan apakah aku masih bisa memeluk lekuk tubuh tinggi semampainya?

Aku tahu dan aku sadar, sesadar-sadarnya. Perpisahan itu memang harus terjadi dan pasti memisahkan aku dan Widya. Tetapi apakah itu semua tidak bisa ditunda? Ditunda sampai aku benar-benar bisa mempersiapkan hati dan perasaanku?

Untuk saat ini, aku sangat-sangat tidak siap menghadapi perpisahan itu. Aku masih butuh waktu untuk menata hatiku. Aku butuh waktu untuk mempersiapkan semuanya.

Tapi, benarkan aku mempersiapkan adanya perpisahan? Atau, jangan-jangan itu hanya akal-akalanku untuk menghindari adanya perpisahan dan agar kebersamaanku dengan Widya tetap ada?

Hingga akhirnya timbul sebuah pertanyaan di hatiku, benarkah aku mencintai Widya? Apakah selama ini, kebersamaan dan kehangatan yang kita ciptakan karena dilandasi sebuah cinta?

Jika memang aku mencintai Widya, mengapa aku berusaha mengekangnya? Mengapa aku menginginkan dia berada dalam kerangkeng ciptaanku yang aku kamuflasekan sebagai sebuah kasih sayang?

Padahal seharusnya, jika mencintai Widaya, aku harus merelakan dia kembali ke Norwegia. Mungkin memang benar, beasiswanya dan doktornya sudah diraih. Tapi, kemungkinan adanya tawaran kerja yang lebih baik sangat mungkin.

Seharusnya, aku tidak memenjarakan punai kecilku dalam sebuah sangkar sempit, sesempit hati dan pemikiranku. Seharusnya, aku mengizinkan Widya, punai kecilku ini, untuk terbang jauh ke angkasa.

Seharusnya aku membiarkan ia membuktikan pada dunia ini bahwa ia bukan cuma seekor punai kecil yang kesulitan mengepakkan sayapnya. Namun ia adalah elang perkasa yang mampu mengepakkan bulu sayapnya selebar-lebarnya.

Angkuhkah aku? Egoiskah aku? Mengapa aku tidak bisa merelakan dan mengiklaskan perpisahan ini, seperti saat kami dengan sengaja memutuskan untuk bersama? Jika pada awalnya kita berjumpa tanpa ada rasa cinta, seharusnya kita merelakan perpisahan itu juga tanpa sebuah cinta.

Biarkan kebersamaan yang ada menjadi sebuah sejarah yang memang harus tertulis dalam rangkaian kehidupanku. Biarlah semuanya, kebersamaan, keindahan, kemesraan, kehangatan, dan juga desah nafas yang memburu saat kita berpacu dengan nafsu, menjadi sebuah goresan di dalam hati.

Tapi, apakah semudah itu semuanya bisa aku lakukan?

Tiba-tiba, semua lamunanku langsung buyar, saat tekanan udara di dalam pesawat berubah karena pesawat mulai menurun. Beberapa saat aku menahan sedikit rasa sakit di telinga. Namun setelah kembali normal, aku malahan tak bisa mengkonsentrasikan pikiranku.

Bandara Juanda sudah terlihat dari sisi kiri jendela pesawat. Semakin jelas terlihat, meski masih jauh. Seperti itu juga kenyataan yang aku hadapi. Perpisahan itu sudah nampak dan akhirnya menjadi sebuah kenyataan. (***)


Prastiwindradi
Parangtritis, awal Mei 2009

0 komentar: