Kamis, 06 November 2008

cerpen: DI LUAR SKENARIO


ARIN kembali memandang wajah lelaki kerempeng itu. Matanya menghiba. Ada yang ingin ia katakan, bukan hanya satu dua patah kata. Tapi kalimat itu sangat banyak. Terlalu banyak isi hatinya yang harus diketahui lelaki yang bukan suaminya itu, tapi kini satu selimut dengannya.



Tetapi lidahnya kelu, sederet kalimat yang tinggal terucap itu tidak juga keluar dari bibir mungilnya. Hanya desah nafas keduanya, terdengar pelan di antara telinga. Siaran berita yang ditayangkan televisi 21 inchi di meja depan tempat tidurnya, semakin menenggelamkan perasaan keduanya.

"Kamu tidak bisa seperti itu. Ini sudah di luar skenario," akhirnya, kalimat itu berhasil meluncur dari bibir Arin. "Sejak awal kita sudah sepakat, ini hanya permainan. Kita sama-sama butuh seperti ini, tanpa harus melibatkan perasaan dan cinta," katanya.

Kita juga sudah berkomitmen, lanjut Arin, kapan pun kita bisa melangkah bersama dan kapan pun kita bisa pisah. Tanpa ada rasa kecewa, tanpa ada rasa menyesal. Kalau aku butuh seks, kau bisa memenuhinya. Dan kalau kau butuh seks, aku juga bisa memenuhinya. Itu saja. Tidak ada cinta, tidak ada sayang.

"Tapi kini semuanya sudah di luar skenario. Kau melanggar komitmen kita. Kau tidak memegang janji," kata Arin.

Arin masih ingat. Sejak enam setengah tahun lalu keduanya memiliki komitmen, bahwa hubungan keduanya bukanlah sebuah kasih sayang atau cinta. Apa yang mereka lakukan adalah hubungan timbal balik, suka sama suka. Seluruhnya karena dilandasi kebutuhan seks semata.

Karena adanya komitmen itulah, Arin merelakan anak semata wayangnya ikut dengan dirinya di kota ini dan tidak terlalu memberati suaminya untuk pindah mengikuti tugasnya. Arin selalu bisa memberi alasan kepada suaminya, bahwa ia tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya dan mengikuti suaminya. Arin selalu menjelaskan kepada suaminya bahwa dirinya akan tetap merindukan kehadirannya di sampingnya.

Tetapi saat ini tidak mungkin Arin harus mengikuti suaminya. Kemampuan Arin meyakinkan suaminya, membuat suaminya akhirnya merelakan mereka harus hidup saling berjauhan. Kebutuhan suami istri hanya mereka lakukan saat suaminya pulang yang bisa dua minggu sekali.

Bagi Arin, kebutuhan seks bukanlah yang utama. Sebagai wanita, ia ingin hanya suaminya yang menyentuhnya. Sebagai istri, dirinya bisa menjaga perasaan, rasa cinta, martabat dan tubuhnya, dari jamahan pria lain. Ikrar itu ia tanamkan sejak pertama kali ia menerima pinangan calon suaminya.

Semangat itu bisa ia pertahankan selama satu tahun suaminya menjalankan tugas. Namun semuanya menjadi lain, saat Arin bertemu dengan Rifai. Laki-laki kerempeng itu sanggup memporak porandakan keteguhan hati Arin. Modalnya hanya satu, ia bisa membuat dan mengajak Arin tertawa lepas. Ia bisa membawa dan menggiring Arin untuk hidup sebagaimana layaknya wanita. Karena ia bisa memanjakan Arin.

Sudah cukup jauh perjalanan dan kebersamaan mereka jalani. Rifai bukan hanya seorang teman bagi Arin, namun juga suami. Cuma Arin tidak pernah mempertemukan Rifai dengan Harjuno, suaminya, dan Alma, anak semata wayangnya.

Arin tidak ingin ada ikatan emosi yang bisa melibatkan mereka. Ia hanya ingin, cukup dirinya saja yang mengenal Rifai. Arin kembali mendesah. Perlahan ia mencoba duduk di antara selimut tebal yang menutup tubuhnya sambil bersandar di tembok.

Ia mencoba merangkai kembali perjalanan panjang awal pertemuan dan perkenalannya dengan Rifai. Juga komitmen yang selalu ia sampaikan setiap saat Rifai mengajaknya bertemu. Meski Arin menyadari dan mengetahui, Rifai mulai melanggar komitmen mereka berdua. Rifai mulai jatuh cinta pada dirinya. Itu tidak mungkin. Itu cinta yang terlarang. Arin sudah terlalu jauh merelakan tubuh putih mulus dan langsing miliknya dijamah laki-laki itu. Itu sudah sebuah pelanggaran sumpah dan pengkhianatan cintanya pada Harjuno dan Alma.

Sebagai istri dan ibu, ia sudah tidak suci lagi. Tubuhnya sudah ternoda. Entah sudah berapa kali keduanya berhubungan bagaikan suami istri. Entah sudah berapa banyak uangyang mereka habiskan untuk menyewa hotel murahan di kota itu dan entah sudah berapa banyak dosa-dosa yang mereka rangkai. Akankan semuanya diperpanjang?

Arin seperti tidak berani lagi memandang mata suaminya dan mata bening anak perempuannya. Meski keduanya tidak mengatakan secara langsung tentang adanya ketidakberesan dalam dirinya, namun Arin sepertinya mengetahui ada tanda tanya di balik sorot mata suami dan anaknya. Arin sering menangnis sendiri di malam hari. Ia ingin mengakhiri semuanya, semua kekotoran yang terjadi. Hubungan yang dikendalikan setan itu harus berakhir sampai di sini.

Tetapi semuanya selalu gagal. Rifai sepertinya sudah kesetanan. Ia telah berubah menjadi setan yang sebenar-benarnya setan. Di otak Rifai hanya ada satu kata, hubungan seks. Karena ia mencintai Arin, maka ia bisa ngeseks kapan saja ia mau. Itu yang setiap kali dikatakan setiap mereka bertemu.

Bahkan, Rifai bisa mengirim 50 SMS yang intinya selalu mengajak berhubungan seks. Ia telah diperbudak seks. Hubungan seks adalah segala-galanya. Bahkan Rifai siap membayar hotel atau tempat lain untuk melampiaskan nafsu binatangnya.

Semua SMS bunyinya hanya menanyakan dimana mereka bisa bercinta? Setiap hari, mulai pagi hingga tengah malam. Bahkan saat ia sibuk di tempat kerjanya, SMS yang masuk dari Rifai selalu begitu. Sampai ia bosen, sampai ia muak.

Mungkin Rifai tidak pernah tahu, ia tidak pernah membaca SMS yang masuk di handphonenya. SMS itu langsung ia hapus saat masuk di handphonenya. Ia sudah tahu, setiap SMS dari Rifai selalu mengajak bercinta dan menanyakan lokasi dimana mereka bisa bercinta. Begitu, begitu, dan selalu begitu. Semasa kuliah dan di rumah orang tuanya, sepertinya ia hanya diajari kalimat soal menanyakan lokasi mereka bisa bercinta. Di tempat yang ini, itu atau dimana?

Kalau SMS itu tidak dijawab, Rifai akan meneleponnya. Menelepon dan menelepon. Terus dan terus. Dalam sepuluh menit, kalau ia tidak mengangkatnya, bisa 50 kali telepon masuk dari Rifai. Bahkan sampai terjadi, handphonenya hang hanya gara-gara menerima panggilan tak terjawab sampai 67 kali.

Rifai sudah tidak bisa dikendalikan. Ia pernah mengatakan secara baik-baik, bahwa ada yang salah dalam persahabatan mereka. Namun Rifai tidak mengerti. Sampai-sampai ia katakan terus terang, bahwa dirinya telah muak dengan sikap dan cara Rifai. Semuanya harus diakhiri sampai di sini.

Tapi apa tanggapan Rifai? Ia menangis sejadi-jadinya. Seperti anak-anak kehilangan dot susunya. Ia mengatakan kalau dirinya tidak sanggup berjalan sendiri tanpa Arin di sisinya. Ia sudah terlanjur mencintai Arin sepenuhnya.

Ia jadi binggung, bagaimana Rifai bisa mencintainya? Komitmen mereka hanya sebatas saling membutuhkan. Bukan urusan hati, bukan urusan perasaan, dan juga tidak ada kaitannya dengan cinta. Tai kucing dengan cinta.

Menghadapi Rifai, seperti Arin berhadapan dengan gajah yang tidak bisa diajak bicara. Seperti ia berhadapan dengan tembok. Rifai begitu bodoh dan tolol, ia telah mencampuradukkan cinta, perasaan dan hubungan sesaat di tempat tidur dengan dirinya.

"Ini yang terakhir. Aku harus pulang," akhirnya hanya itu kalimat yang keluar dari bibir mungil Arin. Ia berdiri, merapikan pakaian, dan mengambil tasnya. Rifai cuek, ia tersenyum.

"Besok kita di mana lagi?," tanyanya, sambil mengambil sebatang rokok dan menyalakan serta mengisapnya dalam-dalam. Arin tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia diam. Memandang wajah Rifai yang kelihatan amat sangat tolol.

"Ya, Allah... Kenapa aku harus kenal dengan manusia bodoh seperti ini? Apa kata-kataku salah dan tidak bisa dimengertinya? Katanya dia itu sarjana, tetapi kenapa bodohnya seperti orang yang tidak pernah bersekolah? Aku muak dengan semuanya," katanya dalam hati. (**)

Cerpen oleh: Mimien.

Readmore ""