Jumat, 10 April 2009

Nyontreng Pulpen Kartun Warna Merah

ADA yang aneh dalam pemilihan anggota legislatif tahun 2009 ini. Pencontrengan menggunakan empat lembar kertas suara yang berukuran besar. Setiap lembar, isi dan gambarnya berbeda-beda. Bilik suara, berukuran kecil dan bisa dipastikan sesak. Tetapi ada yang ada dan tidak berubah, yaitu gambar pulpen warna merah dalam desain kartun. Itu dicontreng.


Memang gambar pulpen kartun warna merah itu seorang caleg? Atau loga sebuah partai politik? Bukan. Tetapi gambar pulpen kartun warna merah itu hanyalah gambar yang sengaja dipasang KPU untuk mengisi kekosongan kertas suara.

Posisinya, pada salah satu kertas suara ada di pojok kanan dan kiri bawah. Pada kertas lainnya, ada pada sisi agak tengah yang mengapit beberapa caleg pada urutan paling bawah.

Mungkin, dari semua caleg dan dari smeua parpol, yang tidak pernah melalukan money politic atau mengumbar janji-janji palsu, cuma si gambar pulpen kartun warna merah itu saja.

Pulpen kartu warna merah itu juga tidak peduli, apakah ia mau dicontreng atau tidak. Yang penting nongol. Dilihat banyak orang, diketahui banyak orang dan tentunya, terkenal. Soal menang atau kalah, ia sama sekali tidak peduli.

Yang menjadi pertanyaan, memangnya ada yang mencontreng si pulpen kartun merah ini? Ada!!! Ada? Ya, ada. Contohnya di TPS 039 Desa Mekarjaya, Kecamatan Sukmajaya, Kotamadya Depok.

Apa yang dipikirkan pulpen kartun merah ini sama seperti yang dikatakan temanku yang juga caleg dari Partai Golkar. Ia menduduki nomor urut 7 untuk daerah pemilihan Bojonegoro-Tuban, Jatim.

Ia tidak peduli apakah namanya ada yang mencontreng atau tidak. Mengapa ia tidak peduli? Karena ia yakin tidak terpilih. "Kalau ada yang nyontreng ya syukur, gak ada (yg nyontreng) juga gak papa,' katanya.

Waktu aku tanya, apakah ini sebuah indikasi bahwa kamu sudah mulai memasuki ambang kegilaan pascapemilu? Ia langsung tertawa ngakak. Nah, gila beneran nih, pikirku.

Ternyata, menurutnya, caleg menjadi gila setelah mengetahui menang atau kalah dalam pileg 2009, itu biasanya karena sudah keluar uang ratusan juta tetapi gagal. Atau yang sudah keluar uang besar dan terpilih, tetapi ia juga dikejar-kejar utang.

Kalau temenku ini gimana? Aku kan gak punya modal, boro-boro buat money politic, buat beli bensin dan jalan menemui konstituen saja gak punya. Ya, udah, kalau aku pasrah ya karena itu. Aku caleg miskin. ***

Readmore ""

Pemilihan Anggota Legislatif Lebih Rumit


JAM masih menunjukkan pukul 06.15 WIB, pada hari Kamis tanggal 9 April 2009. Aku juga masih santai sama keluarga sambil nonton film kartun pagi. Tiba-tiba, kami dikejutkan teriakan salam sambil menggoyang pintu pagar rumah. Ternyata, yang datang Kang Asep, salah seorang anggota panitia pemilihan suara pada Pemilu 2009.

Ia meminta agar aku secepatnya ke Tepat Pemungutan Suara (TPS) 039 Desa Mekarjaya, Sukmajaya, Depok, Jabar, karena sudah ditunggu seluruh panitia. Aku langsung mandi dan sarapan.

Benar juga. Di lokasi TPS yang jaraknya hanya beda satu gang atau sekitar 100 meter dari rumah, seluruh panitia yang terdiri dari B Santoso, Asep Rudiawan, Muhammad Ali, Sudarmaji, Agung dan Warman, serta dua orang anggota Hansip, sudah lengkap di TPS.

Lucunya lagi. Karena tadi tergesa-gesa, aku jadi lupa kalau harus pakai kemeja batik. Aku cuma pakai kemeja biasa. Maklum, jarang pakai batik. Karena didesak segera ganti kemeja, terpaksa aku ganti juga. Balik lagi ke rumah.

Dalam hitungan menit, aku sudah kembali lagi ke TPS dengan batik. Setelah itu, kita persiapkan segalnya, mulai dari ngecek kotak surat suara sampai disumpah. Wah, kayak pejabat, pakai sumpah segala. Tapi itulah urutannya.

Ternyata, pemilihan legislatif ini lebih rumit dibanding pemilihan gubernur. Kebetulan pada pilgub Jabar setahun sebelumnya, aku juga menjadi panitia.

Surat suara lebih besar, daftar caleg, bilik suara yang sempit, tinta celup jari yang mudah hilang warnanya, hingga ke laporan yang lebih banyak dan lebih rumit.

Kondisi ini ditambah dengan lembar rekapitulasi perhitungan yang lebih banyak. Secara otomatis, harus melibatkan personel yang lebih banyak. Masalah banyaknya partai, juga mengakibatkan semakin banyaknya saksi dari partai politik dan DPD.

Konsekuensi dari semua itu, panitia harus bisa melayani semua yang terlibat dengan baik. Supaya tidak ada masalah dan konflik di TPS. Tidak jarang, kita sebagai panitia juga harus membimbing pemilih dan mengajari kursus kilat mencoblos.

Pemilihan yang seharusnya dimulai sekitar pukul 07.30 WIB, karena banyaknya aturan main, pencontrengan baru bisa dimulai setelah pukul 08.00 WIB. Padahal, masyarakat yang akan mencontreng sudah mengantri sejak pukul 07.00 WIB.

Kesibukan selama pencontrengan, mulai dari penulisan nomor TPS, nama kelurahan, desa dan kotamaya serta daerah pemilihan, membuat kebutuhan waktu semakin banyak. Akhirnya, hingga pukul 12.00 WIB, merupakan waktu yang sangat sibuk. Istirahat satu jam benar-benar bisa dimanfaatkan untuk isoma dangan baik.

Perhitungan suara yang dimulai pukul 13.00 WIB, ternyata tidak bisa berjalan lancar. Mengapa? Karena banyak yang kita hitung, mulai partai hingga caleg yang nomor dan letaknya berbeda-beda. Sampai istirahat sholat Ashar, baru satu kotak suara yang bisa kita hitung.

Setelah itu, dilanjutkan pada kotak kedua hingga Maghrib. Kotak ke tiga dan keempat, ternyata baru selesai dihitung pada jam 22.00 WIB. Bayangkan, betapa capeknya.

Selesai?

Belum. Semua hasil harus direkap. Laporan harus dibuat. Beberapa rangkap dan semuanya harus lengkap. Tidak ada toleransi terhadap kesalahan sekecil apapun.

Akhirnya, pukul 24.30 WIB peprhitungan dan rekapitulasi selesai. Setelah memasukkan semua peralatan dan sisa-sisa laporan dan kembali menyegelnya dengan segel resmi yang memang menjadi kelengkapan panitia. Semuanya kita naikkan ke kendaraan yang akan membawa ke kantor kelurahan.

Siapa yang membawa ke Kantor Kelurahan? Memang ada panitia khusus yang didampingi anggota kepolisian dari polsek terdekat. Tapi karena sudah terlalu capek, biarkan itu menjadi tanggungjawab Ketua Panitia, Pak Santoso. Aku memilih pulang dan istirahat. Sampai rumah pukul 01.15 WIB.

Capek banget. Pasti ada yang ngomong, kan ada honornya... Memang, ada honornya. Rp 200 ribu. Cuma segitu? Ya, cuma segitu. Gak sesuai kan dengan capeknya yang harus kerja sekitar 24 jam. Nah lo... ***

Readmore ""