Kamis, 30 Oktober 2008

KORBAN SALAH TANGKAP SERING KALAH MELAWAN POLISI

KASUS salah tangkap, salah prosedur, dan berbagai kesalahan lain yang dilakukan penyidik kepolisian, sepertinya menjadi hal yang biasa dan wajar akhir-akhir ini.



Sebesar apa pun kesalahan yang dilakukan oknum-oknum korp berseragam coklat-coklat itu, tetap tidak bisa menggiring pelakunya --yang jelas-jelas bersalah-- ke pengadilan.

Polisi sering selalu menang dibanding dengan warga yang menjadi korban salah tangkap. Jika ini terus dibiarkan dan tidak diluruskan, akan menimbulkan dampak yang tidak baik bagi Polri dan juga masyarakat.

Bagi Polri, akan muncul oknum-oknum yang merasa kebal hukum. Oknum yang adigang adigung adiguna (sombong dan ingin menang sendiri). Salah atau benar, urusan belakangan. Yang penting, tangkap dan kalau perlu disiksa terlebih dahulu demi mengejar pengakuan.

Sedang dampak bagi masyarakat, akan timbul resistensi dan semakin besar rasa antipati terhadap kepolisian. Jika dini dibiarkan, akan muncul gerakan masa bodoh dan perlawanan yang menggantikan peran serta fungsi kepolisian di masyarakat.

Bagaimana sebenarnya prosedur salah tangkap bisa terjadi dan mengapa sampai saat ini tidak ada langkah pembenahan, berikut hasil wawancara wartawan Suara Karya Joko Sriyono dengan pengajar ilmu kepolisian pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Bambang Widodo Umar.

Bagaimana sebenarnya proses penyidikan sebuah kasus?

Langkah awal tindakan polisi dalam mengungkap suatu peristiwa pidana, misalnya pembunuhan, dimulai dari kegiatan petugas reserse dalam mencari barang bukti atau BB di tempat kejadian perkara atau TKP. Kegiatan ini sangat menentukan untuk memperoleh gambaran yang benar tentang suatu peristiwa.

Apakah ada aturan resmi untuk sebuah penyidikan?

Polri memiliki buku petunjuk pelaksana (bujuklak), buku petunjuk administrasi (bujukmin), dan buku petunjuk lapangan (bujuklap) tentang Proses Penyelidikan Tindak Pidana sesuai Skep Kapolri No Pol: Skep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000. Dalam Skep itu antara lain mengatur prosedur atau tatacara dalam rangka olah TKP, yaitu yang dikenal adanya model spiral, zone, strip, double strip, roda, dan kotak. Model-model itu memberi pentunjuk tentang cara mencari BB.

Di mana terjadinya proses salah tangkap?

Kesalahan bisa terjadi karena petunjuknya kurang jelas, misalnya jika dikaitkan dengan bentuk peristiwa pidana dan bentuk atau kondisi TKP, atau kerena petugas reserse yang tidak cermat dalam mengumpulkan atau mencari BB.

Selain petunjuk yang berisi ketentuan tentang olah TKP, diperlukan juga pentunjuk atau ketentuan tentang pengambilan DNA untuk temuan mayat.

Namun tentang hal ini belum diatur. Bagaimana kriteria mayat yang ditemukan, rusak, setengah rusak atau tidak rusak yang wajib diambil DNA-nya dan yang tidak wajib diambil DNA-nya.

Bisa jadi salah tangkap oleh petugas reserse disebabkan oleh kebiasaan suka mengejar pengakuan dalam memeriksa tersangka daripada mengumpulkan BB secara cermat, teliti, cukup, dan mendalam.

Kemungkinan lain, karena tekanan dari pimpinan yang berambisi mengejar prestasi atau karena beban tugas yang over load tanpa mempedulikan kemampuan anggota, bahkan masih ada yang pergi ke dukun untuk mencari informasi guna membongkar kasus.

Apakah profesionalisme juga menjadi penyebab?

Itu sangat mungkin. Salah tangkap bisa disebabkan karena kurang atau tidak profesionalnya petugas reserse kepolisian. Hal ini bisa menyangkut masalah rekrutmen dan pendidikan.

Rekrutmen terutama berkaitan dengan syarat akademis maupun karakter polisi, sedangkan pendidikan terutama berkaitan dengan kurikulum, metode pengajaran dan teknis pengajaranya sendiri. Dalam pendidikan polisi, cenderung banyak diberikan pengetahuan dibanding dengan ketrampilan.

Padahal, pekerjaan polisi itu lebih menuntut ketrampilan. Ini prosentasenya lebih besar. Juga metode atau cara pengajarannya harus bersifat dialogis, tidak monologis layaknya seperti seorang instruktur dalam pendidikan di militer.

Mengapa hal itu bisa terjadi?

Hingga kini, di lingkungan Polri belum diberlakukan secara tegas ketentuan tentang lapis-lapis kemampuan dalam menangani suatu peristiwa pidana. Karenanya, penanganan peristiwa pidana tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada kesatuan di mana peristiwa itu terjadi (locus delicti), tetapi terkait dengan kualifikasi yang menangani.

Bisa saja peristiwa pidana yang rumit terjadi di suatu desa, sebaliknya peristiwa pidana yang sederhana terjadi di kota besar. Maka meski pun kejadian di suatu desa, seperti kasus mutilasi Verry Idham Henyansyah (Ryan), namun jika peristiwa itu rumit, maka yang manangani kasus itu harus berkualifikasi perwira menengah reserse, bukan perwira madya reserse. Untuk itu perlu diberlakukan secara tegas ketentuan tentang lapis-lapis kemampuan dalam penanganan peristiwa pidana.

Di samping kesalahan teknis, bisa juga karena kesalahan taktis. Akuntabilitas polisi dalam menjalankan tugas reserse belum terawasi secara cermat atau kuat. Meski pun sudah ada pengacara dan jaksa yang memfilter suatu peristiwa pidana.

Pengacara mendampingi tersangka sejak diperiksa polisi, dan jaksa memeriksa kelengkapan berkas perkara sebelum diteruskan untuk penuntutan, namun sanksi atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan polisi hingga kini belum dapat diselesaikan secara adil dalam lembaga pra-peradilan.

Bagaimana pendidikan di Polri bisa memperkecil kesalahan ini?

Perlu ada pemisahan antara pendidikan bagi penyelidik dengan pendidikan untuk penyidik. Penyelidik itu kegiatan di lapangan dalam proses mencari barang bukti, saksi-saksi, tersangka, dan keterangan-keterangan. Sedangkan penyidik merupakan kegiatan di belakang meja untuk memeriksa seseorang.

Hal ini sangat berbeda dan masing-masing perlu pengembangan pengetahuan dan teknis yang lebih mendalam. Spesialisasi bidang-bidang tersebut hingga kini dalam pendidikan kejuruan dasar atau dikjurdas reserse, pendidikan lanjutan atau dikjurlan reserse, dan pendidikan kejuruan atau dikjur perwira menengah reserse masih disatukan.

Apakah perlu ada lembaga pengawas bagi Polri?

Benar, perlu ada lembaga pengawas. Namun yang diperlukan bukan lembaga seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), tetapi sebuah lembaga pengawas polisi yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk melakukan investigasi terhadap polisi yang salah dalam menjalankan tugas.

Lembaga ini perlu dibangun di daerah-daerah untuk mengawasi aktivitas polisi di polres-polres. Keberadaannya akan lebih dekat dengan masyarakat dan mengawasi kepolisian secara langsung.***

Readmore ""

WANITA PERKASA DI TENGAH KUBANGAN TAMBANG TIMAH




Sinar matahari siang itu sangat terik, panasnya seperti ingin menembus topi dan kain pembebat badan Nenek Murni (69) dan Santi (15) cucunya. Namun keduanya seperti tidak peduli. Sambil berendam di air berwarna kecoklatan dan menyiramkan air di sungai buatan dari para penambang timah ke sebuah saringan halus yang berisi pasir-pasir halus warna coklat tua dan hitam, keduanya berusaha menepis panasnya sinar matahari.



"Kalau tidak begini, ya tidak punya uang," kata Nek Murni, yang mengaku telah melakoni kegiatan ngelimbang atau mengumpulkan sisa-sisa biji timah, di bekas lahan pengolahan timah di Desa Trak, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung (Babel), lebih dari sepempat usianya.

Kerja keras nenek bercucu 18 orang ini, sangat tidak sebanding dengan jerih payahnya. Keduanya harus sudah berada di tengah-tengah kawasan bekas galian seluas lima hektare itu sejak pukul tujuh pagi hingga pukul enam sore. Keduanya harus menempuh perjalanan sekitar setengah jam dengan menumpang sepeda motor para pendulang timah lainnya hingga ke tengah lokasi ngelimbang-nya. Atau kalau tidak ada tumpangan sama sekali, keduanya harus rela berjalan kaki hingga dua jam.

Rute perjalanan yang mereka tempuh, saat ini sudah terasa lebih ringan, karena jalur jalan darat tak beraspal di tengah hutan hingga ke mulut bekas penambangan itu telah diperlebar saat Polda Kepulauan Babel, melakukan operasi besar-besaran anti penambangan timah liar, belum lama ini.

Namun jalan mulai agak sulit saat keduanya harus memasuki hutan, jalurnya kecil dan hanya berupa jalan setapak yang bisa dilewati sepeda motor hingga masuk ke bekas lahan galian. Saat itu kita harus berhadapan dengan kawasan hutan yang gundul, angin pun terasa kering memanas, panas matahari semakin terik.

Sebuah jembatan kayu kecil yang membelah sungai buatan dengan warna air yang sangat keruh, menjemput langkah. Ratusan lahan bekas galian yang berujud kubangan, terlihat mencolok. Luas dan dalam kubangan itu sangat bervariatif, mulai luasan 10 meter persegi dan kedalaman satu meteran, hingga kedalaman duapuluhan meter dan luas ratusan meter persegi.

Dari kubangan-kubangan besar itu, terdengar suara raungan mesin diesel yang menyemprotkan air ke dalam tanah sekaligus menyedot lumpur dan membuangnya ke luar kubangan hingga membuat sebuah anak sungai. Di sinilah butiran-butiran timah ditapis, dipilah dan dikumpulkan oleh pengusaha yang memiliki mesin diesel.

Namun tidak demikian dengan Nenek Murni dan Santi, cucunya. Keduanya hanya mengumpulkan sisa-sisa pasir yang tidak diambil para penambang pemilik mesin diesel. Buah ketekunannya, dalam 13 jam berkubang di air lumpur dan sengatan terik matahari, keduanya maksimal hanya mengumpulkan sekilo "biji tai timah" atau biji timah kualitas paling rendah. Sekilo biji tai timah itu, hanya dihargai Rp 50 ribu.

Minimnya pendapatan Nenek Murni ini, menurutnya, mengantarkan Santi menjadi gadis yang harus meninggalkan sekolah di saat ia baru di bangku kelas empat SD. "Daripada sekolah, mending bantu ngelimbang. Sekolah kan butuh uang, kita susah cari uang," katanya.

Ayah Santi dan kakeknya, juga menggantungkan hidup mereka sebagai kuli harian di penambang timah. Sebagai kuli, mereka cukup gembira mendapatkan gaji Rp 20 ribu per kg biji timah yang diperolehnya bersama kelompok mereka. Tiap kelompok penambang biji timah, biasanya terdiri dari dua hingga empat orang kuli.

Namun kakek Santi saat ini sedang terbaring lemas di rumah dalam kondisi sakit keras. "Kasihan, kakek biar istirahat dulu. Aku saja yang ngelimbang membantu nenek," kata Santi, sambil menutup lengannya yang masih kelihatan putih dari sengatan matahari, menggunakan kain warna gelap yang sudah lusuh.

Satu kelompok kecil penambang biji timah, setiap hari harus mengeluarkan biaya beli solar sebanyak 8 liter dan bensin 10 liter untuk menjalankan sebuah mesin diesel berkapasitas 8 PK. Mesin diesel ini harus menjalankan tugas ganda, sebagai mesin penyemprot air sekaligus pengisap lumpur.

Dengan dua orang kuli, kelompok kecil penambang biji timah ini harus mendapatkan minimal 7 kg biji timah yang bagus, dengan harga berkisar Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu per kilogram. "Itu baru impas, padahal rata-rata kita hanya dapat 5 kilogram. Tapi pernah juga dapat 15 sampai 20 kilogram," kata Andi. Saat ini, Andi mempekerjakan dua orang kuli, Achmad dan Sungalih.

Andi mengakui, ia bersama sekitar tujuh kelompok penambang biji timah lainnya itu hanya memanfaatkan sisa penambangan timah yang sudah tutup dan akan direklamasi untuk dibuat areal pertanian kelapa sawit. "Kita dapat izin dari pemilik lahan untuk menambang sisa timah sampai pelaksanaan reklamasi. Jadi sebelum lubang-lubang galian itu ditimbun, kita masih bisa mencari sisanya di sini," katanya.

Potret kemiskinan yang harus dijalani Nenek Murni dan Andi, hanyalah sebagian kecil dari realita di tengah-tengah jutaan kubangan bekas galian tambang timah di Provinsi Babel. Sangat ironis jika di daerah penghasil biji timah terbesar di dunia itu masih menyisakan kemiskinan permanen yang harus dipikul orang-orang seperti Nenek Murni dan Andi.

Padahal, Babel sebagai world's tin bel (sabuk timah dunia), mempunyai cadangan timah di semua wilayah baik di darat maupun laut. Sejarah pertambangan timah di Pulau Bangka dimulai tahun 1710 dan di Pulau Belitung tahun 1851 yang dilakukan Belanda melalui VOC.

Pertambangan timah sebelum tahun 1998 dilakukan PT Timah Tbk dan PT Koba Tin dengan produksi rata-rata 40 ribu ton per tahun. Sejak tahun 1998, masyarakat Babel mulai berani melakukan penambangan berskala kecil atau tambang rakyat atau tambang inkonvensional, sehingga masyarakat merasakan mudahnya mencari uang.

Dampaknya, pada tahun 2004 terdapat 6.507 unit tambang konvensional. Dari jumlah itu, 199 unit memiliki izin dan 6.308 sisanya ilegal. Kandungan timah di Babel, diyakini memiliki tingkat kemudahan untuk dieksploitasi dan terdapat cukup banyak. Membentuk gugusan mulai di kepulauan hingga lautan. Seharusnya, provinsi yang kaya ini tidak akan pernah memiliki keluarga miskin seperti Nenek Murni dan Andi. (Joe)

Readmore ""

DAMRI MENGARAH KE BUS EKSEKUTIF




JAKARTA-CRIMENEWS: Pada era lima hingga sepuluh tahun lalu, armada Damri identik dengan armada angkutan darat milik pemerintah yang kumuh, kotor, tidak terawat dan khusus angkutan kaum ekonomi lemah. Armada milik korp berseragam biru muda itu, bisa diibaratkan seperti angkutan yang lelet atau lamban.


Identifikasi itu sepertinya tidak terlalu berlebihan, karena yang naik bus Damri bisa dipastikan orang-orang yang berpenampilan lusuh, bersendal jepit, dan membawa tas berukuran besar, juga barang-barang bawaan yang ditaruh di atas kap bus. Kebiasaan para penumpang lainnya itu, selalu membuang sisa-sisa makanan dan juga kulit telor rebus di bawah bangku bus begitu saja.
Bau amis sisa telor rebus, bercampur dengan bau keringat penumpang, keringat awak bus dan juga ceceran oli atau solar, semakin menambah kumuhnya penampilan bus Damri.
Bukan hanya itu, sopir dan awak bus pun tampil tidak rapi. Gaya khas mereka, mengenakan sepatu yang sudah kehilangan warna aslinya dan diinjak bagian tumitnya. Seragam biru muda berlogo sayap warna kuning yang dipakainya tidak dimasukkan dalam celana dan juga tidak dikancingkan. Nampak jelas kaus dalam yang beraneka warna, karena variasi daki dan warna solar.
Semua itu adalah fakta hingga mendekati tahun 2000-an. Kondisi itu bisa kita saksikan dan rasakan pada sepanjang perjalanan bus Damri rute Lampung hingga ke Jawa Timur. Memang menjadi sebuah ironi, armada angkutan darat satu-satunya milik negara yang usianya hampir sama dengan usia republik ini, ternyata masih juga digelayuti armada yang reyot.
Namun situasi itu seakan berbalik 180 derajat kalau kita melihat armada Damri milik Stasiun Bandar Lampung. Dari 44 unit bis yang ada, sebagian besar dalam kondisi bagus, baik dari sisi kemampuan mesin dan bodi. Bahkan saat ini, Damri Bandar Lampung memiliki satu unit bus super executive yang berisi 24 seat, 12 unit bus executive, 32 unit bus ekonomi.
Menurut Kepala Stasiun Perum Damri Bandar Lampung, Subagyo, satu-satunya bus super executive itu masih dalam kondisi baru. Untuk mendandani sebuah bus menjadi super executive, pihaknya harus berani menyisihkan dana Rp 275 juta. Dengan modal 30 persennya sebagai uang muka, karoseri bus Trisakti, siap membantu Damri merenovasi bus-bus dengan memberikan kemudahan cicilan biaya hingga 10 kali.
Kemewahan yang ditawarkan Damri super executive ini, sama dengan kemewahan bus swasta dengan kelas big top. Bagi penumpang yang merokok, bus ini dilengkapi smoking area yang posisinya di belakang dan bersebelahan dengan toilet.
Dari pantauan Suara Karya di Stasiun Kereta Api (KA) Tanjung Karang, Bandar Lampung, para penumpang super executive ini dari kalangan kelas ekonomi menengah ke atas. Itu terlihat dari para pengantar penumpang super executive yang menggunakan mobil-mobil mewah.
Khusus menghadapi masa mudik Lebaran 2008 ini, Subagyo telah menyiapkan armadanya secara sungguh-sungguh. Ia memanfaatkan masa sepi penumpang mulai awal puasa hingga H-7, untuk merenovasi bodi dan mesin armada.
Tidak tanggung-tanggung, bus yang bodinya mulai terlihat kurang enak dipandang mata atau hanya baret-baret saat bersenggolan di dalam ferry penyeberangan Merak-Bakauheni, langsung dikandangin dan dipoles serta dicat lagi. Setiap bus yang keluar pool, harus dalam kondisi sehat dan mesin sangat prima. Tidak ada istilah mobil "sakit" yang harus mencari uang. Bahkan saat ini terdapat tujuh unit mesin bus yang siap pasang sewaktu-waktu.
Gebrakan lain yang dilakukan Subagyo, ia menerapkan sistem on time keberangkatan setiap armada. Toleransi keterlambatan maksimal 15 menit. Jika ada penumpang yang sudah memiliki tiket dan terlambat, hanya akan ditunggu hingga menit ke 20 atau atas kesepakatan penumpang lain.
Pentingnya ketepatan waktu, menurut Subagyo, karena penumpang Damri dari Lampung ke Jakarta dan sebaliknya, adalah orang-orang penting dan orang kantoran.
Karena itu, ketepatan waktu pemberangkatan, selama dalam perjalanan hingga tiba di pemberhentian terakhir, sangat dijaga ketat.
Untuk menyiasati kemungkinan timbulnya masalah di dermaga ferry dan panjangnya antrean, pihak Perum Damri Lampung akan membuat kerja sama dengan Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP), agar bisa mendahulukan bus Damri masuk ke dalam kapal tanpa harus melalui antrean.
Jika ini bisa terwujud, lanjutnya, bisnisman atau pegawai kantor dari Lampung yang harus masuk kerja atau mengikuti meeting di Jakarta pagi hari, bisa berangkat dari Bandar Lampung pukul 21.00 atau 22.00 malam.
Obsesi lain yang kini tengah dirintis Subagyo, ia ingin memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mendukung kenyamanan dan keselamatan penumpang bus Damri. Salah satunya, menciptakan save deposit box atau kotak penyimpanan barang berharga milik penumpang.
Ia juga mengharapkan adanya satu pola pelayanan pemesanan tiket bus yang online. Obsesi ini, lanjutnya, sebenarnya akan ia terapkan pada pelaksanaan mudik Lebaran 2008 ini, namun ia mengakui, ketersediaan prasarana dan sarana pendukung operasional online ticketing system belum bisa dipaksakan.
Padahal pihaknya telah menyiapkan lima titik loket penjualan yang terkoneksi secara online, yaitu di Pringsewu, Metro, Bandar Jaya, Rolya Motor dan di Stasiun KA Tanjung Karang. "Pusat online ticketing system di stasiun Tanjung Karang," katanya.
Ia memastikan, sistem online ini akan bisa sepenuhnya beroperasi pada akhir tahun 2008. "Pada liburan Natal dan tahun baru 2009, penumpang sudah bisa memanfaatkan fasilitas ini," katanya. Kenyamanan, kebersihan, dan tepat waktu, kini menjadi andalan jajaran Damri Bandar Lampung dalam melayani masyarakat. (Joe)

Readmore ""

TAK PUNYA IZIN MENAMBANG TIMAH, DIREKTUR DITANGKAP

PANGKALPINANG-CRIMENEWS: Polda Kepulauan Bangka Belitung (Babel) menunjukkan sikap tegasnya terhadap pelaku penambangan timah secara ilegal. Upaya kepolisian dan langkah hukum langsung diterapkan kepada pelaku.



"Kita tidak main-main. bagi yang ilegal sudah dan akan kita tindak," kata Kapolda Babel Brigjen Pol Iskandar, saat dikonfirmasi per telepon, Rabu (29/10/2008).

Berdasarkan data, pada Senin (27/10/2008), sekitar pukul 16.00 WIB, dilakukan penangkapan terhadap Jenyandika Risadi alias Jon (41) Direktur PT Tirus Putra Mandiri dan Juli (37) Direktur CV Putra Kencana.

Keduanya diduga melakukan kegiatan atau usaha penambangan yang tidak sesuai perizinan yang dimiliki di Desa Tirus, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka.

Dari tangan keduanya, polisi menyita kurang lebih 1.470 kampil pasir timah, 288 batang balok timah di gudang smelter CV Tirus Putra Mandiri. Ternyata, izin usaha perusahaan ini mati setahun lalu.

Diperkirakan, pasir timah itu diperoleh dari hasil penambangan yang tidak sesuai dengan izin kuasa penambangan yang dimiliki CV Tirus Putra Mandiri.

"Penyidik kami masih melakukan pemeriksaan. Kalau mereka benar dan dokumennya lengkap, mereka kita lepas. Tetapi kalau mereka bersalah, ya akan kita tindak sesuai prosedur hukum yang ada," kata Kapolda Iskandar. (Joe)

Readmore ""

PENCULIKAN ANAK KEMBALI MARAK

JAKARTA-CRIMENEWS: Awas, aksi penculikan kembali marak, kembali ngetren. Moodus penculikan ini, selama ini hanya karena uang atau pelaku meminta tebusan kepada keluarga korban.



Pemain-pemain baru dalam dunia penculikan ini sepertinya tidak ada kapoknya, padahal aksi semacam ini selalu berhasil digagalkan kepolisian.

Kini, jajaran Polres Metro Jakarta Timur (Jaktim) melakukan pengejaran terhadap pelaku penculikan terhadap Maharani Nuranika (5,5), putri ketiga Sersan Mayor Tata Mardi Utama (37), yang beralamat di Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur, yang terjadi Rabu (29/10/2008).

Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kaksat Reskrim) Polres Metro Jaktim, Komisaris Polisi (Kompol) Royke Harilangi, Kamis (30/10/2008), secara teknis kasus ini ditangani Polsek Metro Pasar Rebo, namun Polres Metro Jaktim mendukung dengan menyebar anggotanya guna menangkap pelaku penculikan dan membebaskan korban dengan selamat.

Maharani diculik Rabu petang oleh kenalan keluarga yang malamnya menginap di rumah keluarga itu, dengan dalih mengantar anak tersebut membeli pulsa telepon.

Informasi di Mapolres Metro Jaktim menyebutkan, pada Rabu malam, pelaku sempat menghubungi keluarga korban dan menjanjikan akan melepas anak itu disekitar rumah korban. Namun hingga Kamis dini hari sekitar pukul 02.30 WIB, korban tidak nampak.

Setelah itu, pelaku melakukan komunikasi per telepon dengan keluarga korban. Pelaku juga meminta tebusan sejumlah uang. Namun pelaku tidak menyebutkan no rekening bank yang akan digunakan untuk mentransfer uang tebusan.

Pelaku terkesan kurang profesional, karena polisi bisa mendeteksi nomor panggilan telepon yang digunakan untuk berkomunikasi dengan keluarga korban, menggunakan kode area Banten.

Menurut Titin Nurbayanti, ibu korban, pelaku penculikan telah dikenal keluarganya sejak tahun 2006 lalu. "Kenalnya sekitar dua tahun lalu. Dia satu kampung dengan bapak. Mengakunya tinggal di Bekasi," katanya. (Joe)

Readmore ""

PENGAMANAN MENJELANG EKSEKUSI


JAKARTA-CRIMENEWS: Kepastian eksekusi trio bomber Indonesia, Amrozi cs, yang tahu hanya kalangan terbatas. Masyarakat hanya melihat, pasukan pengamanan sudah melakukan kesiapsiagaan.


Pengamanan yang dilakukan jajaran Polda Jawa Tengah (Jateng), bukan hanya di darat. Namun juga di perairan atau sekitar Pulau Nusakambangan, tempat Amrozi cs menjalani masa tahanannya.
Penjagaan ketat, saat ini dilakukan di Candi Borobudur, hotel-hotel, dan obyek vital. Kilang minyak Pertamina, pabrik semen Holcim, PLTU di sekitar perairan Nusakambangan, sudah sejak jauh-jauh hari diperketat penjagaannya.
Semua pelabuhan di perairan Nusakambangan, baik pelabuhan pemerintah dan pelabuhan rakyat, bahkan pelabuhan yang dibangun perorangan, juga mendapat pengawasan ketat dari aparat keamanan.
Bahkan kini perairan Nusakambangan masuk dalam ring satu pengawasannya. Pada radius 400 meter dari bibir pantai Pulau Nusakambangan, harus steril dari masyarakat, termasuk nelayan.
Pengamanan dilakukan secara terbuka dan tertutup. Tujuan pengamanan ini, menurut salah seorang pejabat di Mabes Polri, agar eksekusi bisa berjalan lancar dan masyarakat tidak terganggu aksi terorisme lagi. (Joe)
Foto: Detik.com

Readmore ""