KASUS salah tangkap, salah prosedur, dan berbagai kesalahan lain yang dilakukan penyidik kepolisian, sepertinya menjadi hal yang biasa dan wajar akhir-akhir ini.
Sebesar apa pun kesalahan yang dilakukan oknum-oknum korp berseragam coklat-coklat itu, tetap tidak bisa menggiring pelakunya --yang jelas-jelas bersalah-- ke pengadilan.
Polisi sering selalu menang dibanding dengan warga yang menjadi korban salah tangkap. Jika ini terus dibiarkan dan tidak diluruskan, akan menimbulkan dampak yang tidak baik bagi Polri dan juga masyarakat.
Bagi Polri, akan muncul oknum-oknum yang merasa kebal hukum. Oknum yang adigang adigung adiguna (sombong dan ingin menang sendiri). Salah atau benar, urusan belakangan. Yang penting, tangkap dan kalau perlu disiksa terlebih dahulu demi mengejar pengakuan.
Sedang dampak bagi masyarakat, akan timbul resistensi dan semakin besar rasa antipati terhadap kepolisian. Jika dini dibiarkan, akan muncul gerakan masa bodoh dan perlawanan yang menggantikan peran serta fungsi kepolisian di masyarakat.
Bagaimana sebenarnya prosedur salah tangkap bisa terjadi dan mengapa sampai saat ini tidak ada langkah pembenahan, berikut hasil wawancara wartawan Suara Karya Joko Sriyono dengan pengajar ilmu kepolisian pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Bambang Widodo Umar.
Bagaimana sebenarnya proses penyidikan sebuah kasus?
Langkah awal tindakan polisi dalam mengungkap suatu peristiwa pidana, misalnya pembunuhan, dimulai dari kegiatan petugas reserse dalam mencari barang bukti atau BB di tempat kejadian perkara atau TKP. Kegiatan ini sangat menentukan untuk memperoleh gambaran yang benar tentang suatu peristiwa.
Apakah ada aturan resmi untuk sebuah penyidikan?
Polri memiliki buku petunjuk pelaksana (bujuklak), buku petunjuk administrasi (bujukmin), dan buku petunjuk lapangan (bujuklap) tentang Proses Penyelidikan Tindak Pidana sesuai Skep Kapolri No Pol: Skep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000. Dalam Skep itu antara lain mengatur prosedur atau tatacara dalam rangka olah TKP, yaitu yang dikenal adanya model spiral, zone, strip, double strip, roda, dan kotak. Model-model itu memberi pentunjuk tentang cara mencari BB.
Di mana terjadinya proses salah tangkap?
Kesalahan bisa terjadi karena petunjuknya kurang jelas, misalnya jika dikaitkan dengan bentuk peristiwa pidana dan bentuk atau kondisi TKP, atau kerena petugas reserse yang tidak cermat dalam mengumpulkan atau mencari BB.
Selain petunjuk yang berisi ketentuan tentang olah TKP, diperlukan juga pentunjuk atau ketentuan tentang pengambilan DNA untuk temuan mayat.
Namun tentang hal ini belum diatur. Bagaimana kriteria mayat yang ditemukan, rusak, setengah rusak atau tidak rusak yang wajib diambil DNA-nya dan yang tidak wajib diambil DNA-nya.
Bisa jadi salah tangkap oleh petugas reserse disebabkan oleh kebiasaan suka mengejar pengakuan dalam memeriksa tersangka daripada mengumpulkan BB secara cermat, teliti, cukup, dan mendalam.
Kemungkinan lain, karena tekanan dari pimpinan yang berambisi mengejar prestasi atau karena beban tugas yang over load tanpa mempedulikan kemampuan anggota, bahkan masih ada yang pergi ke dukun untuk mencari informasi guna membongkar kasus.
Apakah profesionalisme juga menjadi penyebab?
Itu sangat mungkin. Salah tangkap bisa disebabkan karena kurang atau tidak profesionalnya petugas reserse kepolisian. Hal ini bisa menyangkut masalah rekrutmen dan pendidikan.
Rekrutmen terutama berkaitan dengan syarat akademis maupun karakter polisi, sedangkan pendidikan terutama berkaitan dengan kurikulum, metode pengajaran dan teknis pengajaranya sendiri. Dalam pendidikan polisi, cenderung banyak diberikan pengetahuan dibanding dengan ketrampilan.
Padahal, pekerjaan polisi itu lebih menuntut ketrampilan. Ini prosentasenya lebih besar. Juga metode atau cara pengajarannya harus bersifat dialogis, tidak monologis layaknya seperti seorang instruktur dalam pendidikan di militer.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Hingga kini, di lingkungan Polri belum diberlakukan secara tegas ketentuan tentang lapis-lapis kemampuan dalam menangani suatu peristiwa pidana. Karenanya, penanganan peristiwa pidana tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada kesatuan di mana peristiwa itu terjadi (locus delicti), tetapi terkait dengan kualifikasi yang menangani.
Bisa saja peristiwa pidana yang rumit terjadi di suatu desa, sebaliknya peristiwa pidana yang sederhana terjadi di kota besar. Maka meski pun kejadian di suatu desa, seperti kasus mutilasi Verry Idham Henyansyah (Ryan), namun jika peristiwa itu rumit, maka yang manangani kasus itu harus berkualifikasi perwira menengah reserse, bukan perwira madya reserse. Untuk itu perlu diberlakukan secara tegas ketentuan tentang lapis-lapis kemampuan dalam penanganan peristiwa pidana.
Di samping kesalahan teknis, bisa juga karena kesalahan taktis. Akuntabilitas polisi dalam menjalankan tugas reserse belum terawasi secara cermat atau kuat. Meski pun sudah ada pengacara dan jaksa yang memfilter suatu peristiwa pidana.
Pengacara mendampingi tersangka sejak diperiksa polisi, dan jaksa memeriksa kelengkapan berkas perkara sebelum diteruskan untuk penuntutan, namun sanksi atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan polisi hingga kini belum dapat diselesaikan secara adil dalam lembaga pra-peradilan.
Bagaimana pendidikan di Polri bisa memperkecil kesalahan ini?
Perlu ada pemisahan antara pendidikan bagi penyelidik dengan pendidikan untuk penyidik. Penyelidik itu kegiatan di lapangan dalam proses mencari barang bukti, saksi-saksi, tersangka, dan keterangan-keterangan. Sedangkan penyidik merupakan kegiatan di belakang meja untuk memeriksa seseorang.
Hal ini sangat berbeda dan masing-masing perlu pengembangan pengetahuan dan teknis yang lebih mendalam. Spesialisasi bidang-bidang tersebut hingga kini dalam pendidikan kejuruan dasar atau dikjurdas reserse, pendidikan lanjutan atau dikjurlan reserse, dan pendidikan kejuruan atau dikjur perwira menengah reserse masih disatukan.
Apakah perlu ada lembaga pengawas bagi Polri?
Benar, perlu ada lembaga pengawas. Namun yang diperlukan bukan lembaga seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), tetapi sebuah lembaga pengawas polisi yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk melakukan investigasi terhadap polisi yang salah dalam menjalankan tugas.
Lembaga ini perlu dibangun di daerah-daerah untuk mengawasi aktivitas polisi di polres-polres. Keberadaannya akan lebih dekat dengan masyarakat dan mengawasi kepolisian secara langsung.***