Minggu, 04 Januari 2009

REFLEKSI REFORMASI POLRI

Hingga menjelang tahun 2009 ini, pemerintah Indonesia belum memiliki regulasi yang secara komprehensif menjadi arah dan pengaturan secara sistemik untuk menjamin terpeliharanya keamanan di dalam negeri. Regulasi-regulasi yang memberikan kewenangan dalam bidang keamanan kepada beberapa departemen, masih bersifat parsial.


Reformasi Polri yang berlangsung sejalan dengan reformasi di bidang politik, juga tampak belum terkait dengan fungsi-fungsi kepolisian lainnya. Secara umum bisa dikatakan, reformasi Polri baru menyentuh aspek instrumental dan aspek struktural secara terbatas, sedangkan aspek kultural masih dalam taraf mencari bentuk jati diri polisi sipil.

Di lingkungan Polri sendiri, timbul suatu dilema antara belum terkikisnya budaya militer dalam organisasi dengan trauma reposisi yang membayanginya. Trauma itu ialah kekhawatiran diterapkannya kebijakan mengorganisasikan Polri bersama TNI dalam kedudukan subordinasi atau dialihkannya posisi Polri tidak di bawah Presiden lagi, tetapi dalam suatu departemen tertentu.

Dalam kaitan ini, Polri cenderung kurang bersedia menerima kritik dari kalangan lembaga non-pemerintah, praktisi hukum, dan masyarakat sipil lainnya. Akibatnya, kiprah Polri seakan-akan lebih berpihak kepada pemerintah daripada masyarakat umum dengan dalih menjaga stabilitas keamanan untuk kepentingan negara.

Sejalan dengan reformasi, Polri telah melakukan perubahan dalam instrumental seperti: (1) pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sesuai UU No 2/2002; (2) refisi 300 petunjuk pelaksaba/petunjuk teknis kepolisian; (3) perubahan doktrin/pedoman induk Polri; (4) menyusun grand strategik (Renstra Polri 25 tahun), di mana dalam jangka pendek (2005-2010) membangun trust building. Jangka menengah (2011-2015) membangun partnership/networking. Jangka panjang (2016-2025) membangun strive for excellence.

Dalam aspek struktural, telah: (1) membangun Polri sebagai lembaga non-departemen setingkat menteri; (2) menjadi mitra kerja DPR-RI; (3) menyusun sistem kepegawaian dalam manajemen tersendiri (UU No 43/1999); (4) menyusun struktur anggaran sebagai sektor sendiri; (5) pembenahan polisi berseragam dan tidak berseragam; (6) pengembangan satuan wilayah menjadi-piramida-flat; (7) pengembangan kepolisian daerah (polda) sebagai kesatuan induk penuh; (8) membangun titik pelayanan pada pengemban diskresi; (9) likuidasi satuan Brimob dalam struktur Polri; (10) memberdayakan Bintara dan Tamtama; (11) membangun kemandirian Polri dalam sistem ketatanegaraan, mandiri sebagai kekuatan bersenjata, mandiri dalam penyidikan pidana, mandiri dalam sistem otonomi daerah, mandiri dalam sistem politik.

Dalam aspek kultural telah meredifinisi: (1) Tri Brata, Catur Prasetia, Kode etik, Etika staf; (2) Filosofi pendidikan polisi; (3) Pedoman perilaku polisi; (4) lagu dan lambang polisi; mengubah (5) jati diri polisi melalui demiliterisasi, depolitisasi, desakralisasi, desentralisasi, defeodalisasi, dekorporitasi, debirokratisasi, de-otorisasi (budged); (6) membangun makam kehormatan anggota Polri sebagai usaha pemuliaan profesi; hingga (7) mengurangi kegiatan seremonial dan upacara (sumber Mabes Polri, 2004).

Melihat arah dan perubahan yang dilakukan Polri tersebut nampak ambigus dalam menyusun grand strategik (Renstra Polri 25 tahun). Untuk mencapai trust building tahun 2009 saja sangat meragukan, apalagi mencapai partnership/networking, dan strive for excellence. Juga upaya membangun kemandirian Polri.

Setelah 10 tahun reformasi, penampilan Polri saat ini jika dibanding dengan penampilan sewaktu masih bergabung dengan ABRI belum banyak berubah. Untuk itu perlu dilakukan pilihan fungsi secara rasional dalam reformasi Polri.

Di negara demokrasi, umumnya kepolisian melaksanakan fungsi pemeliharaan hukum dan ketertiban. Mengacu pada pandangan itu, pertanyaannya ialah, fungsi apakah yang selayaknya dilaksanakan Polri. Ada dua alasan mengapa pertanyaan ini perlu dilontarkan. Pertama, saat ini Polri tidak sekadar menjalankan fungsi pemeliharaan hukum dan ketertiban saja seperti yang biasanya melekat dalam institusi kepolisian di negara demokrasi.

Merujuk pasal 2 UU No 2/2002 tentang Polri, disebutkan bahwa di samping fungsi penegakan hukum dan ketertiban, Polri juga diberi wewenang menjalankan fungsi pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Kedua, adanya keraguan terhadap efektifitas polisi untuk melaksanakan keseluruhan fungsi tersebut. Dari pandangan sekilas memang tak ada masalah serius dengan pelaksanaan fungsi semacam itu. Namun jika dilakukan analisis lebih dalam, apa Polri memiliki kapasitas kelembagaan yang memadai untuk menjalankan seluruh fungsi yang dimandatkan UU No 2/2002 itu secara efektif?

Inti dari seluruh pertanyaan ini terletak pada adanya keyakinan bahwa institusi yang moderen adalah institusi yang memiliki "spesialisasi fungsi".

Awalnya, penetapan fungsi perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat terkait dengan tujuan membuat Polri lebih dekat dengan masyarakat. Meski demikian, ada keraguan bahwa tujuan ini akan dapat tercapai. Pembentukan citra polisi sebenarnya lebih banyak ditentukan perilaku polisi di lapangan. Realitas menentukan citra, bukan sebaliknya.

Selain itu, ada kekhawatiran, justru dengan menjalankan fungsi pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, polisi mendapatkan landasan dan penguatan hukum untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar fungsi utamanya.

Karena itu gagasan agar Polri memfokuskan pada pelaksanaan fungsi pemeliharan hukum dan ketertiban saja bukanlah tidak beralasan. Namun hal ini tidak mudah dilakukan.

Krisis keuangan yang melanda negeri ini tahun 1998, telah membatasi kemampuan seluruh institusi untuk menjalankan fungsinya secara efektif. Karena itu di bawah situasi semacam ini tampaknya lebih realistis bagi Polri untuk melaksanakan fungsi yang terbatas tetapi efektif.

Akhirnya, reformasi Polri merupakan penempatan peran dan kewenangannya sesuai kaidah demokrasi dan amanat konstitusi untuk memberikan jaminan hukum bagi pelaksananya dalam menjalankan tugas. Di samping itu, reformasi Polri juga ditentukan kebijakan dari otoritas politik beserta segenap perangkat politiknya, serta kesadaran dan pemahaman elite Polri sendiri akan kemampuannya. Karena itu reformasi Polri ke depan akan sangat ditentukan kemauan politik dan komitmen Polri dalam merumuskan strategi pencapaiannya. (Bambang Widodo Umar)

Bambang Widodo Umar*
*Penulis adalah pengajar program pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (KIK-UI)

Readmore ""