Jumat, 26 September 2008

DIWASPADAI ADANYA MODUS BARU PEMALSUAN KARTU KREDIT

Sukses kadang datang tidak terduga. Itulah yang terjadi saat ini. Saat Direktorat Narkoba Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengendus sindikat narkoba, tim ini menemukan sindikat baru pemalsu kartu kredit.
Tidak tanggung-tanggung, ternyata jaringan ini adalah sindikat internasional yang telah lama beroperasi. Jaringan mereka sangat rapi, kuat dan didukung teknologi canggih. Bahkan mereka sanggup 'membeli' data ke orang dalam perbankan untuk mendapatkan data-data penting.

Pengungkapan ini, bukan saja menggembirakan bagi dunia perbankan, karena terselamatkan dari kebobolan penggunaan kartu kredit palsu. Tetapi juga masyarakat yang memiliki kartu kredit. Karena tagihan fiktif bisa dihindarkan. Dari sudut pandang dunia internasional, kesuksesan ini menjadi satu nilai tambah bagi Polri dan nama baik bangsa. Karena selama ini Indonesia dikenal sebagai surganya pemalsuan segala jenis barang, termasuk kartu kredit.

Pengungkapan ini, sekaligus mengungkap banyaknya pembobolan kartu kredit dan upaya penyelamatan kartu kredit yang sedang dan akan ditempuh dunia perbankan.
Berdasarkan data, selama tahun 2007, jumlah kartu kredit di Indonesia sebanyak 9,1 juta kartu dengan nilai transaksi Rp 72 triliun. Nilai ini terjadi dalam 246 juta transaksi atau 246 transaksi per menit. Kerugian akibat pemalsuan kartu kredit, ternyata tidak kecil. Sepanjang tahun 2007, kerugian akibat pemalsuan kartu kredit diperkirakan mencapai Rp 35 miliar.

Namun angka ini menjadi terasa kecil, jika kita bandingkan nama besar Indonesia. Seperti diungkapkan, anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional, Jos Luhukay, Indonesia merupakan salah negara yang paling rawan pemalsuan kartu kredit. Stigma negatif, sudah begitu melekat bagi bangsa Indonesia.
Indonesia adalah bagian dari kartel pemalsu kartu kredit internasional. "Kita (Indonesia) menjadi daerah yang empuk, karena belum adanya undang-undang mengenai transaksi elektronik," katanya.
Namun, apakah perangkat lunak seperti undang-undang bisa mengeliminir tindak kejahatan transaksi menggunakan kartu kredit? Secara hukum, memang mampu mengeliminir. Namun dari sisi teknis, teknologi akan memegang peranan penting.

Sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 51/2005 tentang Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), setiap Bank/Institusi penerbit kartu kredit/debit diwajibkan untuk mengaplikasikan teknologi smart card/chip card untuk setiap penerbitan/penggantian kartu per tanggal 1 September 2006.

Peraturan ini, cukup menyulitkan kalangan perbankan, selain "deadline" yang pendek juga butuh investasi yang tidak murah. Namun pengungkapan Polri dalam pemalsuan kartu kredit, membuat perbankan lebih mempercepat speed penggantian kartu itu. Dari pada mereka kebobolan lebih banyak lagi.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda S Goeltom, menyarankan agar perbankan lebih berhati-hati dan mempercepat perubahan dari kartu jenis magnetik ke kartu chip.
"Walaupun Peraturan BI memberi batas waktu hingga 2010, kita minta agar perubahan itu dipercepat, karena hinggga saat ini belum semua bank menggunakan jenis chip. Ini memang ada biayanya. Namun ini demi keamanan lebih jauh lagi," kata Miranda.

Ketua Dewan Eksekutif Asosiasi Penyelenggara Kartu Kredit Indonesia (APKKI), Wiweko Probojakti, menambahkan, semua kartu kredit yang diterbitkan oleh penyelanggara kartu di Indonesia akan dilengkapi dengan chip card untuk mencegah terjadinya kartu kredit palsu.

Chip yang akan dipasang di kartu kredit itu, diyakini akan dapat mengurangi kasus pembobolan kartu kredit dengan menggunakan kartu kredit palsu. "Chip yang dipakai tidak bisa ditembus (oleh para pembobol kartu kredit). Ini yang membedakan kartu kredit saat ini dimana kartu kredit tidak memakai chip, sehingga susah membedakan mana yang asli dan mana yang palsu," katanya.

Untuk mendukung perubahan kartu itu,sekaligus mengamankan dari pembobolan penggunaan kartu kredit palsu, PT Bank BNI Tbk (Bank BNI) akan mengeluarkan dana 12 juta dolar AS atau Rp 1,09 triliun (untuk kurs Rp 9.100 per dolar AS) untuk penggantian kartu kredit dari gesek ke bentuk chip.

"Sekitar 2 juta dolar untuk penggantian kartunya dan 10 juta dolar AS untuk untuk penggantian 20.000 elektronik data card (EDC/alat gesek)," kata Manajer Umum Divisi Kartu Kredit, Sahala Oloan Manik.
Diakuinya, penggantian tersebut untuk meningkatkan sistem keamanan kartu kredit dengan menambahkan early detection unit (unit deteksi awal) untuk kartu yang mencurigakan sehingga diharapkan mampu mencegah pemalsuan kartu kredit secara optimal.

Sedang PT Bank Mandiri Tbk, hingga tahun 2010, mengalokasikan dana sekitar 25-30 juta dolar AS untuk merampungkan peningkatan (upgrade) sistem teknologi "smart card/chip card."

Menurut Direktur Teknologi dan Operasi Bank Mandiri, Sasmita, peningkatan teknologi demi keamanan transaksi, dan memperluas jumlah penerima atau mitra (merchant) kartu kredit Mandiri hingga di tingkat internasional. Namun apakah penggantian kartu gesek menjadi chip ini dipastikan aman, menurut Jos Luhukay, penggunaan kartu kredit ber-chip tidak telalu efektif mengurangi tindak pemalsuan kartu kredit.

"Itu tidak bisa menjadi obat pemalsuan kartu kredit karena dalam dunia teknologi pasti akan ada gagasan baru untuk menjebolnya (kartu kredit-Red)," katanya. Dengan kondisi tersebut, lanjut Jos, perbankan diminta untuk dapat lebih mempertinggi kontrol terhadap keamanan dan transaksi keuangan melalui elektronik.

Menurutnya, kasus pemalsuan kartu kredit merupakan salah satu dampak dari penggunaan sistem pembayaran secara electronik. Selain itu, Jos menilai, penggunaan kredit itu sebagai salah satu bagian dari strategi bank untuk mengalihkan sebagian tanggung jawabnya mengenai kesahihan transaksi sehingga menjadi tanggung jawab nasabah.

"Kalau kita ke ATM transaksi bisa dilakukan secara langsung. Begitu pula jika menggunakan internet. Hal ini berbeda jika kita melakukan transaksi di teller bank, itu akan ditanyakan mengenai identitas, seperti kartu tanda pengenal," katanya.

Jos mengatakan, beberapa bank sudah menerapkan tindakan pengawasan yang cukup ketat terhadap penggunaan kartu kredit. Tindakan yang dilakukan di antaranya melakukan konfirmasi kepada nasabah jika terdapat transaksi yang cukup besar.

Terlepas dari semua itu, tiga orang karyawan bank di Jakarta dan Medan telah ditangkap jajaran Bareskrim Polri, terkait kasus pemalsuan kartu kredit. Pada saat yang sama, polisi juga menangkap satu orang lain yang juga terkait langsung dalam kasus ini. Pegawai bank ini diduga menjual data-data kepemilkan kartu kredit kepada para sindikat pemalsu kartu kredit. Tersangka juga diyakini mampu membobol data bank lain untuk mendapatkan data yang mereka inginkan.

Menurut Direktur Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Indradi Thanos, penangkapan ini merupakan pengembangan kasus sebelumnya. Thanos menambahkan, penangkapan yang dipimpim Kombes Pol Amrozi dilakukan di dua lokasi yakni tersangka Lilik yang menjabat sebagai manager accounting sebuah bank swasta di Medan.

Penangkapan Lilik dilakukan di Medan. Sedangkan anak buah Lilik masing-masing Titik dan Wili, pegawai bank di Jakarta dan Roy, tertangkap di Jakarta. Dari pengakuan tersangka, ada kelompok pemalsu kartu kredit lainnya yang sering membeli data dari para pegawai bank itu. "Kelompok ini berani membeli data dengan harga tinggi," katanya.


Informasi di Mabes Polri menyebutkan, para tersangka dengan kemampuan informasi teknologi (IT) dan kewenangannya di bank tempat mereka bekerja, bisa mendapatkan akses untuk mengetahui data-data pemegang kartu kredit.

Tersangka selanjutnya membuat copy atau duplikasi data dari beberapa bank yang ia simpan. Sehingga saat permintaan datang, tersangka tinggal melakukan tawar menawar harga. Sindikat pemalsu kartu kredit ini berani memberi hingga ratusan juta.

Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam, mengungkapkan, penyidik terus mengembangkan kasus ini hingga tuntas. "Kita tengah dalami, apakah mereka bekerja atas inisiatif sendiri atau ada atasan yang menyuruhnya. Itu yang sedang kita dalami," katanya.

Karena itu, lanjutnya, tidak tertutup kemungkinan akan dilakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak tertentu di perbankan. "Penyidik sudah menyiapkan langkah-langkah pemeriksaan, kita tunggu saja perkembangannya," katanya.

Thanos menambahkan, kemampuan Polri mengungkap jaringan pemalsu kartu kredit ini, mendapat apresiasi dari kepolisian Jepang. Saat ini perwakilan polisi Jepang telah berada di Jakarta membantu Polri memeriksa para tersangka. Selain itu, polisi Jepang juga menyelidiki dugaan adanya data-data warga negara Jepang yang sudah diambil para tersangka. "Berbagai kemungkinan sedang didalami penyidik. Termasuk kemungkinan dibobolnya data-data warga negara Jepang," katanya.

Sebelumnya, Bareskrim Polri mengungkap satu jaringan peredaran kartu kredit palsu yang melibatkan sindikat internasional dengan menangkap 14 tersangka termasuk lima warga negara Malaysia.

Menurut Kepala Badan Reserse Krimininal Mabes Polri, Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri, sebanyak 10 tersangka saat ini menjadi buronan Mabes Polri termasuk sejumlah warga negara asing.

Pengungkapan kasus kejahatan kartu kredit skala internasional itu sebenarnya berawal dari polisi yang sedang menggerebek pesta shabu di kamar 208, Apartemen Puri Kemayoran, Jakarta Pusat. Di tempat ini, polisi menangkap delapan tersangka dengan barang bukti 56,6 gram shabu dan 20 kartu kredit.
Ternyata, 20 kartu kredit itu palsu sehingga polisi mengintensifkan pada pemeriksaan kasus ini. Ketika menggeledah rumah salah tersangka bernama Erwin di Kelapa Gading, Jakarta Utara, polisi menemukan 20 lembar blanko kartu kredit kosong dan satu dokumen berisi nomor-nomor kartu kredit.

Dari pengungkapan, sindikat ini telah memalsukan kartu kredit yang dikeluarkan dari Bank BCA, Mandiri, BNI, HSBC, America Express, City Bank, BII, Standard Chatered Bank dan beberapa bank lain. Polisi menyita 7.500 kartu kredit palsu, 131 mesin gesek kartu, 87 KTP palsu dan peralatan pembuat kartu kredit lainnya. (Joe)

Readmore ""

MENGAPA PENYELUNDUPAN DI SIAK BARU TERUNGKAP?

Pengungkapan penyelundupan skala besar dari Malaysia ke Indonesia yang dilakukan tim gabungan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dan Polda Riau di Sungai Siak, Pekanbaru, sangat mencengangkan. Bukan hanya soal nilai penyelundupan yang mencapai Rp 100 miliar sekali angkut yang berhasil dibongkar, tetapi penyelundupan secara terbuka itu sudah berjalan selama lebih dari dua tahun, dan dibiarkan berlarut-larut.
Diperkirakan, dari alur Sungai Siak ini, barang selundupan mencapai triliunan rupiah. Bahkan pelaku utama penyelundupan itu juga orang terkenal di Pekanbaru, Al Gula, Nik dan As, sederet nama yang sudah populer di kalangan petugas keamanan. Hampir semua petugas keamanan mengenal siapa Al Gula dan apa saja geliat bisnisnya.
Namun sepak terjang Al Gula harus berhenti di tangan tim gabungan Polri. Bukan hanya sepak terjang Al Gula yang harus kandas, karier dua pejabat Polri yakni Kapolsek Tenayan Raya Iptu Ardinal Efendi dan Kapolsek Kesatuan Polisi Pengamanan Pelabuhan Pekanbaru AKP Seno Mulya, juga harus diserahkan ke pejabat lain. Tidak tanggung-tanggung, seperti diungkapkan Kapolda Riau Brigjen Pol Sutjiptadi, penggantian dua pejabat itu karena tidak melaporkan kepada atasannya tentang adanya aksi penyelundupan di wilayah mereka. Padahal, keduanya dianggap mengetahui adanya penyelundupan tersebut.
"Dengan penggantian kedua pejabat ini, kita harapkan akan lebih mudah dalam menyidik kasus ini. Saat ini kasus sedang ditangani Mabes Polri," kata Sutjiptadi, seperti disampaikan Kabid Humas Polda Riau AKBP Zulkifli.
Penyelundupan melalui sepanjang alur Sungai Siak, sudah menjadi rahasia umum. Semua orang di sepanjang sungai mengetahui hal itu. Bahkan masyarakat Pekanbaru juga mengetahuinya. Jika masyarakat mengetahuinya, sudah barang tentu polisi dan aparat keamanan lainnya mengetahuinya.
Tetapi semuanya diam saja melihat pelanggaran hukum ini. Yang menjadi permasalahan, apakah memang ini semua sengaja dipelihara untuk mempertebal pundi-pundi sekelompok orang atau memang ada sindikat yang bermain dan melibatkan petinggi aparat keamanan, sehingg aksi pelanggaran hukum ini bisa berjalan mulus selama sekian tahun?
Disinyalir, aksi yang dilakukan Al Gula ini mendapat restu dari oknum petinggi semua angkatan, kepolisian dan pejabat pemerintah daerah di Pekanbaru hingga Riau. Karena semua orang mengetahui, penyelundupan ini dilakukan secara terbuka dan besar-besaran. Bahkan untuk mengangkut barang dari pelabuhan saja harus menggunakan truk-truk yang junlahnya banyak.
Terlepas dari semua itu, pengungkapan penyelundupan yang melibatkan tiga unit kapal yang mengangkut sekitar 1.800 ton barang dari Pelabuhan Port Klang, Malaysia itu, menunjukkan keseriusan Polri dalam memerangi penyelundupan. Sikap tegas yang diambil Kapolda Riau (waktu itu) Brigjen Pol Sutjiptadi, merupakan implementasi dan pengejawantahan perintah dari Kapolri Jenderal Pol Sutanto.
Karena berulang kali, Kapolri Sutanto selalu mengingatkan anak buahnya untuk tidak 'nakal' dan main-main dengan pelanggaran hukum. Bahkan Sutanto secara terbuka, baik di hadapan DPR RI maupun melalui wartawan, selalu mengulang peringatannya. Bagi mereka yang tidak bisa diingatkan, Kapolri Sutanto dengan tegas mengungkapkan, bahwa masih banyak anggota Polri yang baik yang siap menggantikan mereka yang nakal.
Namun ada baiknya Polri menggarisbawahi pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat penangkapan Jaksa Urip Tri Gunawan oleh tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan tegas Presiden berpesan, agar semua yang terkait dalam kasus itu diusut.Kalimat orang pertama di Indonesia itu, seharusnya kita kupas lebih mendalam lagi.
Makna pesan itu sebenarnya sangat luas, bukan hanya untuk kasus penyuapan dalam penanganan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saja, namun kita harus bisa menerjemahkannya juga untuk kasus-kasus lain. Termasuk dalam Sungai Siak gate ini.Mabes Polri harus berani mengungkap lebih lagi dugaan keterlibatan orang-orang di Polda Riau dan mungkin juga di Mabes Polri.
Bahkan kasus ini bisa menjadi sebuah momentum bagi Polri untuk mengikis habis oknum-oknum di angkatan lain dan pemda yang juga bermain. Karena Kapolsek Tenayan Raya dan Kapolsek Kesatuan Polisi Pengamanan Pelabuhan Pekanbaru, tidak akan berani 'bermain' tanpa ada pihak yang memback-upnya. Jalan Berliku Dugaan keterlibatan oknum aparat keamanan dalam penyelundupan ini, memang sangat nyata.
Pada waktu-waktu tertentu, semua kelompok aparat keamanan seperti dijadwal harus 'mampir' ke pelabuhan Sungai Siak. Ada 'biaya pengamanan' yang mereka terima dari orang-orang tertentu.Akibat adanya 'biaya pengamanan' ini, kegiatan pengapalan, bongkar muat kapal dan pengangkutan di darat menjadi lebih aman. Padahal untuk menyusuri sepanjang alur Sungai Siak saja harus melewati enam dermaga yang semuanya memungkinkan dijadikan lokasi bongkar muat barang selundupan.
Lokasi penggerebekan dan penangkapan kapal-kapal ini, dilakukan di dermaga yang terletak di Jalan Nelayan, ini adalah salah satu dari tiga dermaga milik jaringan Al Gula, Nik, dan As.Jika kita mengamati rute penyelundupan ini, terlihat kekompakan tim dan kerja kerasnya. Sebulan sebelum penggerebekan, anggota tim sudah berada di Pekanbaru dan beberapa di antaranya menyewa rumah-rumah petak di sekitar dermaga.
Untuk memasuki wilayah Pelabuhan Meulebung tidaklah mudah. Jarak antara Jalan Hang Tuah, kawasan Kulim, Pekanbaru, ke lokasi sekitar 10 km. Untuk mencapai lokasi harus melewati areal perkebunan kelapa sawit yang memiliki jalan bercabang dan semuanya hampir mirip. Jangankan orang baru, orang Pekanbaru saja bisa kesasar jalan jika tanpa dipandu untuk memasuki kawasan ini.
Sebelum sampai ke Dermaga Meulebung, terdapat empat portal yang harus dilalui. Tiga portal dijaga petugas keamanan perusahaan kelapa sawit dan portal keempat dijaga pasukan sipil yang disebut Laskar Hulubalang Melayu.Menurut pihak perusahaan, mereka tidak akan berani menghentikan truk-truk pengangkut barang dari pelabuhan apalagi mengecek isinya.
Karena itu hanya akan mencari masalah saja.Bila ada kapal sandar, tidak seorang pun bisa menembus portal terakhir yang masih berjarak satu kilometer ke pelabuhan dan memasuki kawasan itu tanpa seizin para hulubalang. Saat kapal sandar, sekitar enam petugas keamanan berseragam lengkap dan memegang senjata laras panjang dari polsek, selalu berjaga-jaga.
Pada saat yang bersamaan, sekitar 250-an orang pekerja menurunkan barang muatan kapal dan memindahkannya ke dalam truk yang sudah menunggu dengan cepat. Bongkar kapal dan muat ke truk harus selesai dalam hitungan tiga jam. Tidak boleh lebih, meski kapal sandar pada tengah malam sekali pun.Lantas, apa saja isi muatan kapal-kapal itu?
Berdasarkan pengakuan para kuli angkut, barang yang mereka turunkan dari kapal dan mereka naikkan ke puluhan truk, biasanya berupa gulungan bahan tekstil, kantong biji plastik, suku cadang mobil, mainan anak-anak, sepeda motor dan ribuan barang lainnya. "Jumlahnya banyak sekali, ribuan. Truk yang ngangkut lebih dari 50 unit," kata seorang kuli.
Barang-barang yang sudah dipilah-pilah sesuai jurusan truk, langsung meninggalkan dermaga. Barang langsung didrop ke Jakarta, Medan, Pekanbaru dan beberapa kota besar lain di Indonesia. Sebagian barang langsung disimpan di gudang di Jalan Riau, Pekanbaru, dan jalan lintas timur kilometer 11,6. Lokasi ini hanya berjarak sekitar 500 meter dari Mapolsek Tenayan Raya. Barang-barang yang kini disita tim gabungan Mabes Polri dan Polda Riau, harus diangkut dari pelabuhan menggunakan 78 truk-truk tronton.
Sebagian barang yang sudah diturunkan dari truk disimpan di tiga gudang berukuran 400 meter persegi dengan tinggi enam meter. Namun belum semua barang habis dalam truk. Karena masih terdapat 12 truk yang isi muatannya belum dibongkar. (Joe)

Readmore ""

GARDA PENEGAK HUKUM MASIH LEMAH

Kasus tentangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan yang juga Kepala Tim Jaksa Pemeriksa Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), pada Minggu (2/3) sore, adalah sebuah ironi. Karena di tangan sang jaksa itu, tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan uang tunai 660.000 dolar AS atau Rp 6,1 miliar, yang diduga terkait penanganan kasus tersebut.
Apalagi, penangkapan ini hanya berselang dua hari setelah Kejaksaan Agung secara resmi menyatakan kepada publik, bahwa kasus BLBI untuk BDNI harus dihentikan karena tidak ditemukan bukti hukum yang mengarah ke tindak pidana korupsi.
Namun penangkapan yang dilakukan di Kompleks Simprug Jalan Hang Lekir, Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jaksel, yang juga rumah mantan Presiden Direktur BDNI Sjamsul Nursalim itu, juga harus bisa menjadi pelajaran semua aparat penegah hukum di negeri ini.
Setiap aparat penegak hukum, seharusnya bisa menangkap sinyal dari peristiwa ini. Seperti dikemukakan Jaksa Agung Hendarman Supanji, akibat ulah Urip Tri Gunawan, atau karena nila setitik, rusaklah citra Kejaksaan Agung. Bahkan Herdarman dengan tegas menyatakan kekecewaan dan kemarahannya atas sikap dan ulah anak buahnya itu.
Sebagai bentuk kekecewaan dan kemarahannya, Herdarman berjanji menuntaskan kasus terkait penangkapan ini. Jaksa Agung meminta Jaksa Agung Muda Pengawasan, MS Rahardjo, memeriksa secara internal sejauh mana perbuatan Urip ini. Caranya, dengan meminta keterangan kepada Urip yang saat ini masih diperiksa KPK. "Apakah ia sendiri atau suruhan orang lain? Saya ingin tahu yang jelas supaya bisa melakukan tindakan yang tegas ke dalam. Tidak tertutup kemungkinan ada orang yang menyuruhnya," katanya.
Bukan hanya itu bentuk kemarahan yang ditunjukkan Herdarman. Bahkan Jaksa Agung meminta KPK mengajukan tuntutan seberat-beratnya. "Sebagai penegak hukum yang mengetahui konstruksi hukum, seharusnya jaksa tidak melakukan hal itu," katanya.
Sepertinya lumrah saja kalau Jaksa Agung begitu kecewa, karena sebagai pimpinan tertinggi di lembaga itu, dirinya seperti dikadali anak buahnya secara terang-terangan, terutama dalam penanganan kasus BLBI BDNI. Menurut Jaksa Agung, penanganan kasus BLBI sudah benar. Hasil terakhir penyelidikan selama tujuh bulan dipaparkan di depannya. Isinya, menyatakan belum ada alat bukti perbuatan melawan hukum yang mengarah ke korupsi. Pendekatan pidana tidak dapat dilakukan, kemungkinan dengan pendekatan perdata. "Saya setujui penghentian penyidikan, karena jika berlama-lama menjadi kurang produktif. Ternyata kesimpulan saya keliru, karena ada anak buah saya yang menyimpang. Ada oknum yang memanfaatkan kondisi," katanya.
Kekecewaan, ternyata juga dirasakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, Presiden meminta semua aparat terkait kasus dugaan penyuapan ini diusut karena tidak ada yang kebal hukum di Indonesia. "Semoga ini menjadi efek jera untuk siapa pun yang ingin korupsi, termasuk aparat penegah hukum," katanya.
Lantas, siapa wanita yang menyerahkan uang Rp 6,1 miliar itu? Ternyata wanita itu adalah Arthalyta Suryani, yang juga dikenal dekat Sjamsu Nursalim. Suami Arthalyta yaitu Surya Dharma adalah mantan petinggi PT Gajah Tunggal Tbk yang dirintis Sjamsu Nursalim.Arthalyta sempat menjadi Bendahara Umum DPP Partai kebangkitan Bangsa (PKB) menggantikan posisi Erman Suparno, sekitar bukan Oktober 2007.
Namun menurut Ketua DPP PKB Hermawi Taslim, Arthalyta hanya menjabat dua hari dan belum sempat bekerja. Di situs Bursa Efek Jakartaper 3 Maret 2008, nama Arthalyta Suryani tercatat sebagai Wakil Komisaris Utama di Indonesia Prima Properti Tbk, perusahaan yang bergerak di bidang properti dan real estate. Arthalyta Suryani juga menjadi Wakil Komisaris Utama di Indonesia Prima Properti Tbk yang 90,09 persen sahamnya dikuasai oleh First Pacific Capital Group.
Menjadi Cermin Semua aparat penegak hukum, termasuk Polri, harus bisa berkaca dari kasus ini. Sebagai penyidik, Polri memiliki kedekatan dengan tersangka dan juga pelapor. Dengan kemampuan dan kewenangannya, penyidik bisa 'menyetir' sebuah perkara yang sedang ia tangani. Termasuk memutuskan seseorang akan menjadi tersangka atau cukup hanya saksi dalam sebuah kasus. Jika semua aparat penegak hukum mau jujur --jujur kepada diri sendiri dan orang lain--, pada tahapan tertentu penyidik harus berani mengambil satu keputusan berat.
Di mana ia harus bisa memenuhi kebutuhan finansial pimpinan dan juga keluarga yang selalu merongrongnya, namun di sisi lain dia juga harus mengemban tugas sebagai penyidik dalam korpnya. Kejujuran itu semakin dipertaruhkan, manakala kasus yang ia tangani sarat dengan nilai keuangan yang sangat besar. Selain itu, terlapor sendiri memberi sinyal dan berani menyodorkan diri untuk sebuah langkah damai di bawah meja.
Pada tahapan seperti ini, ketua tim atau kepala tim sangat mungkin bermain. Beberapa pola bisa ia mainkan. Kepala tim bisa bermain sendiri. Langkah ini memang sangat menjanjikan keuntungan yang lebih besar bagi seorang kepala tim. Karena ia akan mendapatkan bagian yang lebih besar dibanding anggota tim lainnya. Karena ia merangkap jabatan, sebagai kepala tim, kepala negosiator dan juga eksekutor. Ia pun pasti akan tetap meminta jatah sebagai anggota tim.
Namun kalau timbul masalah hukum, ia sendiri yang harus memikulnya. Namun pada tahapan seperti ini, ada yang tidak mau terlalu rakus dan memilih aman. Ia rela kebagian 'tidak seberapa' namun tangan tetap bersih. Bahkan kalau suatu saat timbul masalah hukum, ia bisa cuci tangan dan melenggang dengan nyaman. Di sinilah mereka memanfaatkan kehadiran seorang makelar kasus (markus). Seorang markus, bisa berdiri sebagai dewa penolong.
Namun pada posisi lain, dia juga bisa menjelma sebagai setan belang. Karena kemampuan keuangan dan kedekatannya dengan para pucuk pimpinan sebuah lembaga penegak hukum, markus ini bisa memainkan dua peran sekaligus. Markus bisa menggertak penyidik, menyetir hasil penyelidikan dan penyidikan, bahkan ia juga bisa menentukan nasib seseorang akan menjadi tersangka atau cukup sebagai saksi.
Bahkan yang seharusnya menjadi tersangka sekalipun, bisa disulap berubah menjadi saksi dan akhirnya namanya hilang dari daftar pemeriksaan sama sakali. Karena kemampuannya, markus pun bisa mendekati, menempel, menakut-nakuti dan kemudian menghisap darah seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka. Apakah darah itu akan dihisap sampai kering atau tidak, semuanya terserah markus. 'Darah' yang telah dihisap markus inilah yang kemudian dijadikan 'kendaraan' operasional penyidikan.
'Darah' ini pun kemudian dibagi-bagi, atasan penyidik akan mendapatkan jatah dengan prosentase yang cukup besar, setelah itu jatah penyidik, mulai dari ketua tim, anggota hingga staf, semua kebagian. Karena jumlah penyidik lebih banyak, maka jatah mereka sudah tentu lebih besar. Namun akhirnya yang diterima setiap penyidik menjadi kecil, karena nilai itu harus dibagi-bagi. Lantas, berapa jatah sang markus? Semua orang sudah bisa menghitungnya. Jatah terbesar ada di tangan markus. Karena jika sampai ada timbul masalah hukum, yang akan menjadi tumbal pertama kali adalah sang markus.
Karena resiko yang dihadapi sang markus inilah, sebagai konpensasi markus juga akan meminta prosentase dari pihak tersangka dan juga dari penyidik. Dalam kasus lain, seperti saat penanganan kasus pembobolan letter of credit (L/C) BNI Cabang Kebayoran Baru, Jaksel, senilai Rp 1,7 triliun, penyidik secara langsung meminta fee atas kesuksesan pengungkapan kasus itu.
Padahal succes fee tidak diperbolehkan, pengungkapan kasus adalah tugas yang memang harus diselesaikan aparat penegak hukum. Sayang, kasus itu tidak menyentuh pihak-pihak yang seharusnya. Pengungkapan kepada publik hanya sebatas siapa yang bisa dijadikan tumbal. (Joe)

Readmore ""